Oleh: Muhamad Ibrahim
Waktu terus berlalu namun kenangan indah bersama para pengurus OSIS MAN 1 Surakarta akan selalu membekas di hati. Hampir dua tahun saya menjadi sukarelawan untuk bertugas pada salah satu organisasi intra di sekolah saya itu. Awal kisah ini dimulai saat saya melaksanakan salah satu program kerja kerja tahunan kami, yakni Aksi Romadhon OSIS MAN 1 Surakarta atau biasa disingkat AROMAN1SKA pada tanggal 4-8 Juli 2015. Salah satu program kerja yang bertujuan sosial untuk membantu masyarakat kurang mampu di desa yang bisa dikatakan terpencil saat bulan Ramadhan. Ketika itu kami menyelenggarakan program ini di desa Beran daerah pinggiran Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Awalnya kami kesulitan dalam hal perizinan karena beberapa oknum yang hanya ingin mengambil keuntungan sendiri. Namun tekat kami sudah bulat untuk membantu warga desa ini. Kami terus melobi pengurus desa dan tokoh masyarakat agar kami dapat menyelenggarakan program ini di desa mereka. Ketika hari terakhir, kami menyambangi rumah salah satu tokoh masyarakat untuk menanyakan kepastian perizinan tersebut. Saya dan teman-teman terkejut setelah medapat kabar bahwa warga desa mengetahui oknum yang mempersulit izin kami dan oknum tersebut dikucilkan dari masyarakat. Setelah berlarut-larut akhirnya kami mendapatkan izin dari warga desa.
Banyak warga desa menawari bantuan kepada kami, mulai dari tempat untuk menginap, tempat memasak, bantuan tenaga, penyewaan kajang, dll. Waktu itu kami diperbolehkan menempati salah satu ruang kelas belajar siswa madrasah ibtidaiyah untuk dijadikan base camp panitia laki-laki. Kami juga mendapat bantuan dari warga desa yang rela dua rumahnya dijadikan base camp untuk panitia perempuan.
Hari pertama kami membuka stand bazar yang menjual sembako, baju, celana, sandal, buku tulis dan makanan ringan dengan harga murah. Dari pagi hingga sore hari area bazar kami tidak pernah sepi dari lalu-lalang masyarakat. Saya selalu ingat bahwa warga desa tidak lepas dari senyuman dan ucapan terima kasih yang terus-menerus mereka pancarkan dari wajah merka. Tak ayal membuat kami semangat untuk terus menahan hawa nafsu hingga adzan maghrib berkumandang.
Hari pertama, kedua, ketiga kami lalui. Acara penyuluhan kesehatan, pengobatan gratis, pembagian bantuan sembako gratis dan bazar juga telah kami laksanakan. Ketika itu saat kami sedang berjalan menuju base camp, kami melihat nenek-nenek usia sekitar tujuh puluh tahun yang berjalan tanpa alas kaki dengan membawa keranjang di tangannya menawarkan makanan hasil buatanya sendiri. Kami sedikit iba dengan nenek itu karena baju yang ia pakai tidak layak pakai dan ia tidak memakai alas kaki saat terik menerpa jalan yang kami lewati. Lantas kami langsung bertanya kepada beliau dengan bahasa Jawa karena beliau tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia. Kami juga berbicara dengan beliau sedikit agak keras karena nenek tersebut ternyata mengalami gangguan pendengaran.
Setelah sedikit berbicara dengan nenek tersebut, ternyata ia menjual gorengan dengan harga yang menurut kami tidak layak untuk makanan tersebut. Bayangkan saja tempe mendoan yang biasanya dijual di pinggir jalan dengan harga lima ratus rupiah, nenek tersebut hanya menjual dua ratus rupiah. Hal tersebut juga berlaku untuk bakwan dan tahu isi. Setelah mendengar jawaban nenek tersebut hati kami langsung tersentuh dan mata kami sedikit berkaca-kaca. Saya dan teman-teman saya langsung membeli gorengan nenek tersebut. Beliau mengucapkan banyak terima kasih kepada kami.
Setelah itu kami berbincang-bincang dengan nenek tersebut mengapa ia hanya menjual gorengan dengan harga murah. Nenek tersebut menjawab kepada kami “karena kalau nenek menjual lebih mahal maka dagangan nenek itu tidak akan laku nak”. Setelah beberapa menit nenek itu berpamitan kepada kami untuk pulang ke rumah. Sebelum nenek itu pergi kami selaku tamu di desa ini memberikan beberapa rupiah kepada nenek tersebut. Namun beliau bersikeras menolak pemberian kami namun setelah kami paksa dengan susah payah nenek tersebut menerimanya dengan puluhan kata terima kasih. Setelah itu gorengan kami santap sebagai teman makan kami saat buka puasa tiba.
Malam terakhir kami isi dengan acara pengajian akbar di pelataran Masjid Darul Muttaqin. Perwakilan warga satu persatu mengutarakan isi hati mereka dengan mengucap banyak terima kasih kepada kami yang telah menyelenggarakan program seperti ini yang baru pertama kali dilaksanakan di desa mereka. “Program seperti ini sangat membantu sekali bagi kami. Harapan kami tahun depan mohon dilaksanakan di desa kami lagi.” ujar ibu kepala desa Beran. Pengajian berjalan dengan hikmat hingga hampir tangah malam warga desa masih setia sampai acara selesai.
Keesokan hari kami berpamitan kepada sesepuh desa, perangkat desa dan seluruh warga desa Beran, Donoyudan, Sragen untuk kembali ke rumah kami masing-masing. Seluruh warga desa berterima kasih dan mendoakan kami agar menjadi pribadi yang sholeh dan sholehah, berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Kami satu persatu bersalaman kepada tamu yang hadir dan meninggalkan desa tersebut dengan berbagai cerita dan hikmah.